Sejak kecil, saya selalu tertarik dengan citra 'pergi ke sekolah'. Ketika saya berusia 3 tahun, saya berjalan-jalan pagi dengan ibu dan kami melewati sebuah sekolah. Banyak anak-anak yang bermain dengan gembira di halaman sekolah. Saya begitu terpukau dengan keinginan untuk bergabung dengan mereka sehingga menangis ketika ibu mendesak untuk melanjutkan perjalanan kami. Saya tidak bisa berhenti memikirkan betapa menyenangkannya sekolah itu. Bayangan pergi ke sekolah menari-nari di kepala setiap hari dan tak sabar menunggu hari pertama bersekolah.
Hari pertama di sekolah seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Saya menemukan minat di bidang akademis pada usia muda. Seringkali ketika pulang dari gereja, tempat favorit saya adalah - "Toko Buku". Tidak seperti orang lain, yang lebih menyukai fiksi dan komik, saya bisa menghabiskan waktu hingga berjam-jam di bagian nonfiksi, berkutat dengan ensiklopedia dan melahap berbagai pengetahuan. Saya juga suka matematika. Maka tak heran bila setiap hari saya akan menyelesaikan beberapa soal matematika yang menantang sampai merasa 'puas' dengan hasilnya.
Saat lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya merasa tertantang memutuskan untuk mendaftar di sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) ternama di Jakarta. Sayangnya, kenyataan berbeda dengan harapan sehingga saya mulai patah semangat untuk belajar apalagi untuk berangkat ke sekolah dan akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari sekolah. Untuk pertama kalinya, saya berpikir untuk mencoba home-schooling untuk menjauh dari semua gangguan sosial. Namun kedua orang tua orang tua saya tidak setuju dan merasa keberatan dengan ide tersebut karena khawatir saya akan kehilangan suasana lingkungan sekolah. Meskipun begitu mereka sangat suportif dan memahami dilema yang saya hadapi dan Bersama-sama kami mulai mencari sekolah menengah yang sesuai baik secara intelektual serta lingkungan belajar-mengajar yang baik dengan komunitas teman sebaya yang memiliki minat sama. Kali ini kami tidak terburu-buru untuk mendaftar melainkan memilih secara hati-hati agar mendapatkan sekolah yang tepat. Kami mempertimbangkan semua aspek: fasilitas, guru, siswa, dan kurikulum. Kami berdoa, berdiskusi besrama hingga akhirnya memilih Ichthus School, karena Ichthus menjanjikan keseimbangan pendidikan berkualitas tinggi dan iklim belajar-mengajar yang positif.
Ketika saya mulai sekolah di Ichthus, kenangan dari sekolah saya sebelumnya membuat saya sulit untuk beradaptasi. Saya memilih untuk diam, mengamati dari kejauhan, dan menghindari interaksi dengan teman dan guru. Meski demikian teman-teman dan guru saya sangat sabar dan pengertian, bahkan konselor serta Pak Dean, kepala sekolah juga sangat peduli. Terbukti ketika saya menghadapi masalah mereka dengan sigap bicara dari hati ke hati serta mengulurkan tangan untuk membantu menyelesaikan masalah yang saya alami. Akhirnya meskipun diliputi rasa khawatir dan keraguan, saya memutuskan untuk melangkah keluar dan menaklukan lingkungan. Kehangatan dan perhatian yang diberikan oleh para guru, kepala sekolah, dan staf sekolah lainnya membuka mata dan hati saya. Dukungan mereka ditambah keramahan teman-teman saya membuat saya lebih percaya diri, aman dan seperti layaknya di rumah sendiri. Akademik memang penting tetapi keterampilan bersosialisasi dan menjalin persahabatan memberi motivasi untuk melangkah lebih jauh.
Saat ini saya bersyukur telah diterima di program pilihan yaitu kuliah Teknik Penerbangan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Saya sangat bersemangat menantikan babak baru dalam hidup saya. Semoga pengalaman ini bisa menjadi penyemangat bagi orang lain.
Kita memiliki bakat dan minat yang berbeda – beda, bahkan mungkin sedang mencari penerimaan identitas, namun satu hal yang pasti bahwa akan selalu ada komunitas yang penuh kasih saat keadaan terasa sulit. Kita harus bersyukur akan berkat serta bakat yang diberikan Tuhan dan bangga dengan diri kita sendiri. Saya bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan, orang tua saya dan semua guru dan teman-teman saya di Ichthus School.
Terima kasih sudah membaca!
Comments